Profil
Nama Resmi | : | Kabupaten Bangka Barat |
Ibukota | : | Mentok |
Provinsi | : | Bangka Belitung |
Jumlah Penduduk | : | 178.937 Jiwa |
Luas Wilayah | : | 2.820,61 Km² |
Wilayah Administrasi | : | Kecamatan : 6, Kelurahan : 7, Desa : 60 |
Batas Wilayah | : |
|
Website | : | http://www.bangkabaratkab.go.id |
(Permendagri No.66 Tahun 2011)
Sejarah
Berdasarkan
PP No 26 Tahun 2008, Rencana Tata ruang Wilayah Nasional menetapkan
Kota Muntok yang mempunyai fungsi sebagai Ibukota Kabupaten Bangka Barat
sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKL) dengan PKN terdekat Palembang.
Sebagai
ibukota Kabupaten Bangka Barat, Muntok merupakan salah satu kota yang
memiliki sejarah dengan peninggalan bangunan-bangunan kuno. Berkenaan
dengan itu, Kota Muntok ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata sejarah
dalam Rencana Induk Pariwisata Daerah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor PM. 13/PW.007/MKP/2010 tentang Penetapan Pesanggrahan
Menumbing, Pesanggrahan Muntok, Mesjid Jami', Kelenteng King Fuk Miau,
Rumah Mayor Cina, dan Eks Kantor Wilasi Timah Zaman Belanda di Muntok
sebagai benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar budaya.
Pada
saat masa penjajahan Belanda menduduki Muntok, perkembangan Muntok
sebagai Pusat kota tampak begitu jelas, terutama ditandai dengan
berdirinya beberapa bangunan penting.
SEPENGGAL CERITA MUNTOK
Tugu
Bung Hatta di depan Pesanggrahan Mentok, terletak di pusat kota Mentok,
Kabupaten Bangka Barat. Di rumah itulah Bung Karno menghabiskan
sebagian besar waktu saat diasingkan tahun 1949. Pesanggrahan itu kini
menjadi penginapan.”Nak, kita harus berjuang terus. Pantang mundur!”
Kalimat itu membekas dalam ingatan RA Indrawati (79) kendati diucapkan
59 tahun silam oleh Ir Soekarno. Kata-kata presiden pertama RI yang
diasingkan ke Bangka itulah yang mengobarkan semangat Indrawati untuk
terus berjuang mengusir Belanda yang hendak menguasai kembali Indonesia.
Indrawati—pekerja
palang merah TKR di Mentok—tidak sendiri. Masyarakat Residentie Banka
Belliton en onderhorigheden alias Keresidenan Bangka Belitung waktu itu
begitu bersemangat mempertahankan kemerdekaan. Kehadiran sejumlah
negarawan ke tempat yang disebut pengasingan meninggalkan sebuah kesan
tersendiri, terutama bagi warga Bangka, terlebih yang berdomisili di
Mentok.
Para
tokoh yang sempat tinggal di Bangka mengalami nasib serupa, yakni
dibuang oleh Belanda setelah Yogyakarta, ibu kota Indonesia, diduduki
kembali oleh Belanda dalam agresi militer II, 19 Desember 1948. Selain
Bung Karno, Wapres Bung Hatta, Menteri Luar Negeri Agus Salim, M Roem,
Ali Sastroamijoyo, Komodor Udara Suryadarma, serta Mr AG Pringgodigdo
juga dibuang di Bangka selama lima hingga tujuh bulan, mulai akhir
Desember 1948 sampai pertengahan tahun 1949.
Sebagian
catatan tentang pembuangan para tokoh di Bangka menuliskan bahwa
keberadaan para tokoh di pulau timah ini dimanfaatkan untuk bersantai.
Pendapat ini ada benarnya juga kendati ada sejumlah gerakan tersembunyi
yang dikerjakan para tokoh di tempat mereka tinggal ketika itu.
BANYAK WAKTU
Para
tokoh ini menghabiskan banyak waktu di dua tempat, yakni Bukit
Menumbing dan Pesanggrahan Mentok yang keduanya terletak di kota Mentok.
Mentok—sebagian orang juga menyebut Muntok—terletak sekitar 133
kilometer dari Kota Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Bangka Belitung
kini. Sekitar dua abad sebelum tahun 1913, Mentok adalah ibu kota Bangka
sebelum dipindahkan ke Pangkal Pinang.
Tempat
pengasingan di Bukit Menumbing kerap digunakan oleh Bung Hatta,
Suryadarma, Assaat, dan Abdul Gafar Pringgodigdo. Bung Karno, Agus
Salim, M Roem, dan Ali Sastroamijoyo banyak menghabiskan waktu di
Pesanggrahan Mentok.
”Bung
Karno jarang ke Menumbing karena di sana dingin. Beliau lebih sering ke
Pesanggrahan Mentok. Ini, kamar nomor 12, yang menjadi kamar beliau,”
kata Salikin SK, putra Mentok yang mewarisi kejadian 1948-1949 dari
kisah-kisah orangtua serta bangunan fisik bersejarah yang masih tersisa
di Mentok.
Kedua
tempat itu berjarak sekitar 11 kilometer. Nasibnya kini sama: dijadikan
tempat penginapan umum kendati tamu yang datang hanya kadang-kadang
saja.
PENGANAN "PELITE"
Pelite
menjadi ”saksi sejarah” sebuah masa yang begitu berharga bersama bapak
bangsa. Penganan kebanggaan masyarakat kota Mentok yang terbuat dari
olahan tepung beras, santan, dan gula yang ditempatkan di wadah mungil
dari daun pandan ini merupakan salah satu makanan kesukaan Bung Karno.
Tidak
mengherankan, ketika Bung Karno mengajak masyarakat Mentok
berjalan-jalan menyusuri pantai dari Pesanggrahan Mentok ke Tanjung
Kalian, pelite juga ikut disiapkan sebagai hidangan pelepas lelah di
dekat mercu suar Tanjung Kalian.
”Ada
sekitar 70 orang yang ikut berjalan-jalan. Sebagian besar anak muda:
wanita dan pria PORI,” tutur Indrawati di sela-sela acara Napak Tilas
Bung Karno yang diselenggarakan Dinas Perhubungan, Kebudayaan, dan
Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, 30 Agustus 2008.
Aktivis
PORI Abu Hurairah yang ketika itu berusia 19 tahun juga mengenang acara
jalan bersama itu sebagai sebuah kegiatan rekreasi. ”Saya masih
anak-anak ketika itu sehingga berjalan di bagian belakang rombongan. Tak
ada ucapan penting yang disampaikan Soekarno. Acara itu hanya
jalan-jalan. Bung Karno kalau jalan cepat sekali,” urai Abu yang kini
berusia 78 tahun.
AA
Bakar dalam buku Kenangan Manis dari Menumbing yang diterbitkan Balai
Pustaka, 1993, menyebutkan kegiatan jalan bersama Soekarno sebagai
kenangan tidak terlupakan bagi masyarakat Bangka. Sepanjang jalan
dinyanyikan lagu mars. Adik ipar bestuurshoofd atau kepala pemerintahan
Bangka Barat—yang beribu kota di Mentok—ini juga pernah menjadi pelayan
Bung Hatta dan sejumlah tokoh yang banyak menghabiskan waktu di Bukit
Menumbing.
Pelite
yang disediakan para ibu di Mentok mengesankan bahwa acara pada tahun
1949 itu tidak lebih sebagai sebuah hiburan bagi masyarakat. Maklum, di
masa yang rawan itu, masih banyak mata-mata Belanda yang berseliweran.
Bendera
merah-putih saja tidak boleh dikibarkan di Bangka. Namun, bukan Bung
Karno dan para petinggi republik ini jika tidak bisa mengatasi kondisi
itu. Bendera merah-putih digantikan dengan biru-putih yang disamarkan
sebagai bendera PORI.
PORI
merupakan akronim dari Perkumpulan Olahraga Republik Indonesia, cikal
bakal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) saat ini. PORI didirikan
di Mentok pada masa itu untuk menggalang persatuan para pemuda.
Organisasi politik sudah pasti akan dilarang oleh Belanda sehingga
peluang untuk mengobarkan semangat perjuangan dilakukan lewat bidang
olahraga.
Organisasi
lain yang didirikan Bung Karno adalah Angkatan Pemuda Indonesia (API).
Sayangnya, bangunan kantor API kini berubah menjadi gardu pemuda.
Selain
menggelar jalan bersama, Bung Karno juga kerap mengunjungi warga
setempat sekadar bercengkerama. Di situlah semangat berjuang terus
digelorakan kendati tidak secara terbuka.
”Bung
Karno banyak bercerita tentang Bangka di masa dulu. Dia begitu paham
tentang sejarah Bangka. Ini disampaikan juga kepada warga yang
dikunjunginya di rumah,” kenang Abu Hurairah.
KEMENANGAN
Salah
satu ruangan di Pesanggrahan Mentok menjadi tempat negosiasi pimpinan
Indonesia yang tengah diasingkan dengan pihak Belanda. Di situ mulai
didesakkan pengembalian kedaulatan Indonesia dengan mengembalikan
Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia.
Pilihan
Belanda untuk mengasingkan pimpinan Indonesia ke Bangka menjadi kurang
tepat. Masyarakat Bangka bahkan mendorong kemerdekaan penuh Indonesia.
Tanggal 21 Februari 1949, Soekarno menuliskan bahwa rakyat Bangka
bersemangat bergabung dengan Indonesia.
Perpisahan
masyarakat Mentok dengan para tokoh republik ini dilaksanakan 5 Juli
1949 setelah Yogyakarta dikembalikan menjadi ibu kota Indonesia. Tanggal
6 Juli, rombongan Soekarno meninggalkan Mentok menuju Pangkal Pinang,
dan sehari kemudian terbang ke Yogyakarta.
Di
kancah internasional, terbetik slogan van Bangka begint de victorie,
yang oleh M Roem diterjemahkan menjadi ”dari Bangka datangnya
kemenangan”. Sebuah harapan menyelinap setelah 59 tahun peristiwa itu
berlalu: akankah Bangka kembali menorehkan sejarah besar di bangsa ini? (Sumber : Kompas Senin, 22 September 2008/ Agnes Rita Sulistyawaty)
Nilai Budaya
Bangunan cagar budaya lain adalah sebuah tempat peribadatan yang menjadi kebanggaan umat Islam pada masa itu hingga masa sekarang yakni Masjid Jami' yang dibangun pada tahun 1883 M (1300H). Pembangunan masjid tersebut dilakukan pada masa pemerintahan H. Abang Muhammad Ali dengan Gelar Tumenggung Kartanegara II dengan dibantu oleh tokoh masyarakat Muntok pada saat itu. Adapun posisi masjid tersebut berdampingan atau bersebelahan dengan sebuah kelenteng tua, Kung Fuk Miau, yang usianya lebih tua, dibangun 83 tahun sebelumnya. |
Di salah satu sudut Kota Muntok terdapat sebuah bangunan kuno peninggalan Zaman Belanda, terkenal dengan sebutan Rumah Mayor Cina. Rumah ini dulunya ditempati oleh seorang mayor (pangkat kehormatan) dari keturunan Cina yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pengatur dan pelaksana kegiatan perdagangan di Kota Muntok. |
Disamping itu, juga terdapat Makam Kota Seribu sebagai makam kuno para bangsawan dan pendiri Kota Muntok yang memegang pemerintahan di Kota Muntok pada abad ke-17. Sampai sekarang Makam Kota Seribu masih tetap dikunjungi oleh orang-orang untuk berziarah dan mengenang para pendahulu pendiri Kota Muntok. Pada setiap tahun, tepatnya 2 (dua) hari setelah Hari Raya Idul Adha diadakan acara Haul Kota Seribu, yaitu doá dan ziarah Makam Kota Seribu yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang berasal dari Kota Muntok, kota-kota lain yang ada di Provinsi Bangka Belitung, Palembang, dan kota-kota lain yang ada di Indonesia. |
0 komentar:
Posting Komentar